Pilihan jurusan berbeda dengan orang tua? Kamu harus coba hal ini!
“Ka, aku ga bingung sih sama jurusan yang mau aku pilih. Aku tahu kalau aku mau jurusan X. Tapi, orang tua aku malah nyuruh ke Y.”
Pernah mengalami hal tersebut? Gimana rasanya? Nyesek ga? Kamu mau milih mengejar apa yang kamu cinta atau mau menjalani apa yang orang tua kamu sarankan?
Dilema bukan?
Memang harus diakui, untuk menemukan apa yang kita cinta saja, butuh perjuangan yang cukup sulit. Kayak meyakinkan diri kita sendiri apakah kita sudah cinta sama pasangan kita apa enggak. Butuh perenungan dengan diri sendiri yang bisa memakan waktu sangat lama hingga benar-benar yakin is this what I want? Sudah mah susah, eh, pas giliran yakin, malah dilarang orang tua. Mau dilanjut takut durhaka, mau menjalani apa yang disaranin orang tua, ga bakat plus gak minat.
Tenang, kalau mengalaminya, kamu tidak sendiri. Banyak ko, anak-anak Indonesia yang mengalami hal yang sama. Termasuk penulis sendiri.
Memang awalnya, orang tua penulis sangat demokratis terhadap apa yang penulis pilih. Tapi karena, penulis telah menghabiskan waktu empat tahun untuk belajar analis kimia, orang tua merasa sangat kecewa karena hal tersebut sangat sia-sia kalau tidak dilanjutkan. Tapi bagaimana lagi? Wong sudah tidak suka?
Terdengar durhaka bukan? Meskipun terdengar mengerikan, tetapi seyogyanya perbedaan pendapat antara orang tua dan anak adalah hal yang sangat wajar. Wong orang tua dan anaknya memiliki lingkungan yang berbeda. Dari zaman, pengalaman, pelajaran, hingga kesan pastinya akan ditangkap oleh masing-masing pihak dengan cara dan hasil yang berbeda. Apalagi, kalau dalam kehidupan berkeluarga sehari-hari jarang mengkomunikasikan apa yang dipikir dan dirasa.
Sebagai contoh, adik penulis yang doyan sekali bermain Mobile Legends menganggap permainan tersebut sudah cukup mulia untuk dijadikan kegiatan positif pengisi waktu. Salah satu alasannya, baginya kegiatan tersebut selain mengasah otak, bermain mobile legend bukan kegiatan negatif, “wong Pak Jokowi saja sudah mendukung e-sport semacam ini”. Di lain sisi, bagi kalangan orang tua setipe ibu bapak penulis, bermain game apapun tetap saja bermain game yang diartikan hanya main-main atau leha-leha saja.
Bahkan, di samping dari itu, mengutip kata Prof. Rhenald Kasali dalam wawancaranya dengan tirto.id (DPR Sibuk dengan pansus KPK ketimbang Masa Depan Anak Muda), beliau menggambarkan banyak dari orang tua Generasi Z cenderung ketat terhadap pilihan anaknya. Bukan tanpa alsan, sosial politik dan ekonomi orang tua generasi Z saat itu menempUh masa-masa sulit krisis moneter. Kesulitan menstabilkan keuangan keluarga membuat orang tua Gen Z cukup ketat dalam hal pengeluaran dan proses berjuang menstabilkan keuangan rumah tangga. Meskipun ekonomi orang tua Gen Z membaik hingga mereka bangkit lagi menjadi sukses, tetapi psikologi kontrol terhadap pilihan masih sedikit banyak terbawa.
Dari sanalah, kalau penulis tak keliru menyimpulkan, kalangan orang tua Gen Z meskipun ketat, toh pada ujung-ujungnya ingin anak-anaknya sukses (seperti dia). Mereka tak ingin anaknya merasakan sulitnya hidup bak di zaman Pak Harto mundur dari jabatannya.
Tetapi, pertanyaannya, apakah suksesnya orang tua akan diulangi oleh anaknya? Pastinya, tidak ada yang bisa menjamin. Apalagi, kalau anaknya lebih menyukai bidang yang lain ketimbang apa yang disarankan oleh orang tuanya.
Lalu sikap kita? Kalau kamu gaakan fighting dengan apa yang kamu cinta, carry on! Tapi, jangan menyesal kalau di suatu hari nanti kamu akan merasakan rasa hampa hingga penyesalan di tengah karir yang sedang kamu jalani nanti.
Lalu bagaimana bagi kita yang pengen menjalani kuliah sesuai apa yang kita suka? Gampangannya adalah komunikasi. Ngomongnya gampang, tapi emang ngerjainnya yang susah.
Mengkomunikasikan yang sifatnya krusial seperti jurusan ditambah kuliahmu masih dibiayain orang tua, tentunya tahap ini bukanlah hal yang mudah. Dan memang harus diamini, dengan pendapat yang saling memandang kebenarannya dari masing-masing pihak, konflik pun akan menjadi kepastian. Penulis tidak menyarankan kamu durhaka untuk melawan orang tua. Tapi, justru penulis ingin kamu gentle mengkomunikasikan dan berdiskusi apa yang kamu ingin dan apa yang kamu rasa dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah kamu lakukan sebelumnya.
Sebelum kamu yakinkan orang tua, tentu kamu jangan lupa meriset tentang jurusan dan prospek kerjaan yang akan kamu kerjakan. Dari bidangnya apa, kuliah yang bisa mengakomodir di mana, biayanya berapa. Minimal, outputnya nanti, kamu harus tahu kalau mau jadi apa dan kamu yakin dengan begitu kamu akan bahagia. Ingat standarnya bukan dengan seberapa gaji yang didapat.
Pada dasarnya, sekaku apapun orang tua kita, orang tua kita ujung—ujungnya ingin kita ini bahagia. Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya menderita. Dengan memilihkan jurusan untukmu, itu tanda cintanya agar kamu bisa sukses yang akhirnya kamu pun bisa bahagia.
Tapi, ketika kamu tahu itu tak membahagiakan, yakinkanlah mereka bahwa kamu punya jalan sendiri untuk bahagia dan bahkan kamu yakin membuat mereka bahagia.
Penulis telah mencobanya sendiri, meskipun melalui konflik yang memeras energi dan tentunya air mata. Kadang penulis ingin berhenti, berlari, untuk mengikuti apa yang diinginkan orang tua entah untuk melanjutkan jenjang studi kimia ataukah menjadi wirausaha melanjutkan apa yang sudah dibangun orang tua sejak mereka masih muda. Tapi, penulis meyakinkan bahwa penulis pun bisa bahagia dengan bukti-bukti kebahagiaan yang telah penulis jalani. Penulis tak kuat untuk mengutuk mereka bila pada akhirnya harus menjalani apa yang penulis tidak sukai karena mereka.
Dengan melewati fase komunikasi ini, hubungan penulis dengan orang tua pun malah makin membaik dan diskusi yang dibangun lebih berjalan dua arah yang pada ujungnya saling mendewasakan masing-masing pihak.
Untuk gambaran lebih kongkrit, kamu harus tonton film 3 idiots karya Rajkumar Hirani. Dalam film tersebut, ada karakter Farhan yang sangat dekat dengan kita. Kamu harus lihat bagaimana Farhan meyakinkan orangtuanya bahwa menjadi fotografer lebih membahagiakan ketimbang mengikuti keinginan orang tuanya yang menginginkan anaknya menjadi insinyur. Farhan tahu bahwa orang tuanya mencintainya, begitupun dia. Tapi, dorongan sahabatnya, Farhan mengkomunikasikan apa yang ia ingin jalani meskipun ke depannya definisi suksesnya bukan hanya dari mobil, rumah, ataupun uang seperti yang orang tuanya bayangkan.
Tapi, daripada itu, penulis pastinya tak bisa menjamin hal ini akan mudah untuk dilakukan. Namun, tak ada salahnya untuk mencoba. Sehingga, mumpung masih ada kesempatan, perjuangkan terus apa yang kamu impikan dan cita-citakan.
Dengan perbedaan pendapat karir, jangan benci orang tuamu. Konflik itu kepastian, jangan takut untuk menangis atau terkena umpatan kekecewaan. Bicaralah biar mereka pun tahu bukan hanya mereka yang menyangimu, tapi dirimu pun menyayangi mereka dengan jalan yang kamu impikan.
Semangat terus, ya!
Post A Comment
Tidak ada komentar :
1. Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan. Tunjukkan bahwa anda adalah orang berpendidikan yang senantiasa menjaga etika.
2. Komentar tidak boleh menyinggung SARA, Porno, dan sejenisnya
3. Dilarang menggunakan akun Anonim.