Pelecehan Seksual dan Dunia Pendidikan
Seperti yang kita ketahui bahwa dunia pendidikan di Indonesia adalah salah satu wadah untuk mencari ilmu pengetahuan dan membentuk pribadi yang berkarakter. Namun, apa jadinya jika di dalam suatu lembaga pendidikan yang terjadi malah sebaliknya? Di mana siswa/mahasiswa yang seharusnya mendapatkan hal-hal tersebut, tapi malah mendapatkan ketakutan dan trauma. Salah satu penyebabnya yaitu adanya siswa/mahasiswa yang menjadi korban pelecehan seksual baik oleh sesama siswa/mahasiswa, tukang parkir/kebun, guru/dosen biasa atau bahkan yang memiliki jabatan tinggi sekalipun.
Pelecehan seksual merupakan segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Dampak yang dirasakan oleh korban tentunya tidak boleh disepelekan, di antaranya bisa mengakibatkan stres dan cenderung menyalahkan diri sendiri, menjadi kurang percaya diri, mudah merasa cemas berlebihan, trauma yang mendalam, atau bahkan nekat melakukan tindakan bunuh diri.
Sisi gelap di dunia pendidikan memang benar adanya. Termasuk maraknya kasus pelecehan seksual baik verbal maupun non verbal. Namun, yang terungkap ke publik hanyalah segelintir dari banyaknya kasus yang terjadi. Bayangkan apa jadinya apabila predator seksual dibiarkan begitu saja di dunia pendidikan. Oleh karena itu, dengan adanya kasus pelecehan seksual, kita tidak boleh menutup mata dan kasus harus diusut tuntas sampai korban mendapatkan keadilan.
Berikut ini hal-hal yang bisa dilakukan apabila kita menjadi korban pelecehan seksual di lingkungan pendidikan:
Jangan Menyalahkan Diri Sendiri
Sumber: https://whathefan.com/pengembangan-diri/berhenti-menyalahkan-diri-sendiri/
Terdapat beberapa respons yang diberikan tubuh ketika sedang mengalami pelecehan seksual. Ada yang langsung melawan, ada yang cuma bisa berteriak, ada pula yang hanya terdiam dan tidak bisa bergerak (tonic immobility). Setelah kejadian, dampak yang biasanya ditimbulkan yaitu perasaan suka menyalahkan diri sendiri. Apa lagi bagi orang yang mengalami tonic immobility, pastinya perasaan bersalah, marah, dan kesal sama diri sendiri, dan menyesal akan terus menjadi bayang-bayang dalam dirinya dan tak jarang dapat mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
Namun, yang perlu digaris bawahi bahwa kejadian pelecehan seksual merupakan peristiwa yang di luar kontrol kita. Maka dari itu, kita tidak boleh menyalahkan diri sendiri karena yang patut disalahkan yaitu si pelaku. Tidak ada yang mau mendapatkan pengalaman pahit seperti itu, tidak ada juga yang bisa menebak kejadian seperti apa yang akan kita alami di masa depan. Dengan demikian, jangan pernah menyalahkan diri sendiri, jangan membenci diri sendiri, jangan merasa jijik dengan diri sendiri, dan jangan pernah merasa sendiri. Berdamai dengan diri sendiri dan menerima keadaan memanglah sulit, tapi bukan berarti tidak bisa.
Komunikasi Interpersonal
Sumber: http://rotasinews.com/lebih-dekat-melalui-komunikasi-antarpribadi/
Komunikasi interpersonal bisa juga diartikan sebagai bercerita kepada orang lain. Ketika kita memutuskan untuk menceritakan masalah kita kepada orang lain, maka pilihlah seseorang yang bisa dipercaya dan tidak mudah menghakimi. Bisa kepada teman dekat (sahabat), orang tua, adik/kakak, atau kepada guru/dosen lain yang kita percayai dan enak untuk dijadikan tempat “bersandar.” Dengan bercerita kepada orang lain bisa mengurangi sedikit beban dalam diri sehingga membuat diri kita menjadi lebih lega, tenang, dan merasa memiliki pegangan.
Speakup di Media Sosial
Sumber: https://dokter.id/tips/yang-harus-kamu-lakukan-jika-menjadi-korban-pemerkosaan
Speakup di media sosial masih menjadi kontroversi karena sebagian netizen memiliki pemikiran yang close minded. Di mana mereka menganggap orang-orang yang speakup tentang masalahnya (apa lagi kasus pelecehan seksual) ke media sosial adalah orang-orang yang suka menyebarkan aibnya sendiri, alay, lebay, dan caper. Itulah kebiasaan netizen yang suka mencari celah buruk tanpa memikirkan bagaimana jika berada di posisi korban. Padahal yang seharusnya dilakukan sebagai netizen yang smart yaitu berempati bukan malah mencaci maki.
Ketika memutuskan untuk speakup di media sosial yang perlu diingat bahwa apapun yang kita unggah ke media sosial baik berupa tulisan atau video pasti akan mendapatkan 2 reaksi (ada yang pro dan ada pula yang kontra). Maka dari itu, kita perlu mempersiapkan diri dan menerima segala risiko yang akan terjadi nantinya. Namun, ketika sudah terlanjut mengunggah, alangkah baiknya jangan membaca kolom komentar apabila dirasa dapat semakin menambah beban dalam diri. Namun bagi penulis sendiri, jangan pernah takut untuk speakup karena sekali lagi korban tidaklah salah dan itu bukanlah aib.
Sebenarnya speakup di media sosial bisa jadi opsi yang tepat. Netizen yang budiman dapat membantu kita untuk mengusut tuntas kasus tersebut hingga pelaku diadili. Salah satu buktinya seperti kasus yang baru-baru ini terjadi. Yaitu kasus mahasiswi UNRI yang berani speakup soal dirinya menjadi korban pelecehan seksual oleh dekan fakultasnya ketika melakukan bimbingan skripsi. Setelah beberapa lama kasus tersebut ramai dibicarakan oleh para netizen dan public figure, serta korban yang melapor ke pihak berwajib, akhirnya terduga pelaku dinyatakan sah sebagai tersangka sehingga saat ini pelaku sedang menjalani proses hukum lebih lanjut.
Pergi ke Pihak Profesional
Sumber: https://www.viva.co.id/blog/sosial/1397810-rahasia-psikolog-yang-mungkin-tidak-dikatakan-pada-anda
Korban pelecehan seksual memang disarankan untuk mendapatkan bantuan dari pihak profesional (seperti psikolog, konselor, psikiater, atau terapis), tanpa harus menunggu kondisinya lebih parah lagi. Namun, hal itu hanyalah sebagai opsi yang boleh saja diikuti ataupun tidak. Akan tetapi, apabila dirasa dampak setelah kejadian membekaskan trauma yang mendalam hingga menganggu aktivitas sehari-hari, maka sebaiknya korban harus menemui pihak profesional. Pihak profesional dapat membantu kita untuk menyembuhkan luka batin yang selama ini terkubur dalam.
Melapor Pada Pihak yang Berwenang
Sumber: https://indonesia.go.id/kategori/kependudukan/1140/cara-lapor-tindak-pidana-kepada-polisi
Pelecehan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sebab tidak hanya dirugikan secara fisik maupun psikis, tapi juga martabat kemanusiaannya. Perlindungan hukum terhadap korban tindak kekerasan/pelecehan seksual terlebih bagi perempuan dapat diberikan melalui Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dan KUHP yang menyangkut perkosaan, Pasal 285 KUHP; Undang-undang No. 13 Tahun 2006 khususnya dalam Pasal 5, Pasal 8, dan Pasal 9; dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan demikian, korban bisa melapor kepada pihak berwajib (polisi) untuk mendapatkan bantuan dalam memenuhi keadilan hukum. Selain itu, korban juga bisa melapor kepada organisasi atau lembaga sosial yang peduli terhadap kasus pelecehan/kekerasan seksual. Seperti di antaranya, Lembaga Bantuan Hukum APIK, Koalisi Perempuan Indonesia, Yayasan Lentera Sintas Indonesia, dan Komnas Perempuan.
Baca juga: 5 Cara Mengatasi Pelecehan Seksual: Kita Perempuan, Kita Berani!
Pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan bagaimanapun keadaannya. Oleh karena itu, jangan pernah menyalahkan kondisi dan situasi korban atau pakaiannya, serta jangan pernah menyudutkan korban apa lagi sampai menuduh yang macam-macam. Sebab lagi-lagi yang salah 100% adalah pelaku, maka pelakulah yang patut menerima sanksi baik sanksi sosial maupun sanksi hukum negara yang berlaku. Sementara itu, kita wajib membela dan merangkul korban hingga korban mendapatkan keadilan dan merasa lebih baik.
Refrensi:
https://www.suara.com/news/2021/06/11/133729/pelecehan-seksual-definisi-dan-bentuk-tindakan-dan-pencegahannya?page=all, diakses tanggal 28 November 2021.
https://www.guesehat.com/dampak-yang-terjadi-pada-anak-korban-pelecehan-seksual, diakses tanggal 28 November 2021.
Yanuar, Deni. et.al. (2019). “The Secret Persona: Komunikasi Interpersonal Ibu dan Anak Korban Pelecehan Seksual di Kuta Baro, Aceh Besar.” Warta ISKI. Vol. 02. No. 02, hal. 142.
Sumera, Marcheyla. (2013). “Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan.” Lex et Societatis. Vol. I. No. 2, hal. 48.
Sibarani, Sabungan. (2019). “Pelecehan Seksual dalam Sudut Pandang Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.” Sol Justisio: Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 1. No. 1, hal. 1.
https://www.fimela.com/lifestyle/read/4118665/perlu-tahu-organisasi-dan-lembaga-yang-peduli-perempuan-korban-kekerasan, diakses tanggal 28 November 2021.
Post A Comment
Tidak ada komentar :
1. Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan. Tunjukkan bahwa anda adalah orang berpendidikan yang senantiasa menjaga etika.
2. Komentar tidak boleh menyinggung SARA, Porno, dan sejenisnya
3. Dilarang menggunakan akun Anonim.